A.
Pendahuluan
Entah kenapa ketika mendengar kata “pluralisme”, sebagian dari kebanyakan umat Islam harus menutup kuping mereka rapat-rapat. Seolah-olah pluralisme ini telah dianggap oleh mereka, sebagai “hantu” yang perlu ditakuti dan dijauhi. Orang yang mencoba menjelaskan dan mewacanakannya pun juga terkena imbasnya, tak sedikit dari mereka yang telah di hujat, dicaci maki dan dikucilkan—tidak hanya dianggap sebagai antek-antek Barat, tetapi juga telah “diklaim” sebagai calon penghuni neraka. Masyaallah..!
Saya memahami,
kenapa mereka sampai berbuat demikian. Karena kebanyakan dari mereka—saya
yakin—belum mengetahui secara komprehensif substansi pluralisme itu sendiri.
Disamping itu, mereka juga sudah terburu-buru untuk bersikap antipati dan penuh
kecurigaan, kalau pluralisme ini adalah produk Barat, yang pasti sesat dan
menyesatkan. Memang sih, tidak bisa dipungkiri dalam realitas kesejarahanya
pluralisme ini adalah berasal dari Barat. Tetapi kalau kemudian paham ini, mampu
memberikan kontribusi positif bagi terciptanya persahabatan dan perdamaian bagi
masyarakat agama, kenapa harus ditampik, inilah pertanyaanya.
Bukankah kalau
mau jujur, selama ini kita juga telah ikut merasakan dan menikmati
produk-produk barat akibat keunggulan IPTEK yang dimilikinya? Janganlah menutup
mata, kalau kita selama ini bisa berkomunikasi jarak jauh dengan HP, faximile
dan internet serta bisa bepergian keseluruh dunia (termasuk menunaikan ibadah
haji ke mekkah) dengan naik pesawat,
mobil dan kapal—adalah berkat Barat.
Dengan begitu, dapatlah dikatakan bahwa
sesuatu yang datang dari Barat ternyata tidak selamanya jelek dan bertentangan
dengan Islam. Semuanya sebenarnya
tergantung bagaimana cara kita menyikapi dan mempergunakanya. Sebagai contoh,
kalau kita tidak dapat secara arif dan bijaksana mempergunakan sains dan
teknologi, maka hal ini pastilah akan berimplikasi negatif bagi kehidupan
manusia, yaitu menyebabkan terjadinya krisis dalam berbagai bidang kehidupan. Bukankah contoh seperti ini juga berlaku
bagi paham pluralisme?
Namun haruslah
diakui, bahwa Barat tentu saja bukanlah “segala-galanya”. Sehingga semua
pikiran, perilaku, budaya serta norma-norma kita harus berkiblat dengan Barat.
Kalau tidak mengikuti trend Barat, dikataka “ndeso” dan kampungan alias ketinggalan zaman. Karena memang pada
kenyataanya, terdapat dari tradisi dan kebudayaan yang berasal dari Barat yang
tidak sesuai dengan kultur Islam seperti; dari cara berpakaian yang banyak
mengundang syahwat, makanan dan minuman beralkohol, free sex. Alangkah baiknya kalau kita memang seselektif mungkin
untuk mencoba memilih dan memilah budaya Barat tersebut. Yang baik kita tiru,
dan yang tidak sesuai dengan Islam kita bung jauh-jauh.
Lebih baik memang, dan ini sudah saatnya,
kalau kita sesegera mungkin melakukan upaya-upaya menuju dialog antara Islam
dan barat. Sehingga melalui proses dialog ini, akan memungkinkan terciptanya
suasana saling belajar satu sama lain. Dialog juga akan memungkinkan diantara
keduanya untuk saling sharing
pemahaman tentang budaya masing-masing yang dimilikinya serta memberikan suatu
kritik yang kontrukstif demi terciptanya saling memahami dan menghormati. Kalau
hal seperti ini dapat dilakukan, saya yakin cita-cita menciptakan perdamaian
global akan tercapai. Tetapi kalau belum-belum sudah saling mengkafirkan satu
sama lain, lantas apa yang bakal terjadi? Pastilah kekacauan dan peperangan
seperti yang terjadi selama ini, akan selalu terulang kembali. Termasuk salah
satu yang perlu didialogkan antara barat dan Islam adalah gagasan perlunya
konsep pluralisme, sebuah konsep yang berasal dari Barat yang bertujuan untuk
menciptakan harmonisasi di antara agama-agama di dunia.
Apakah
sebenarnya pluralisme itu? kalau melacak dari beberapa sumber, dapatlah didefenisikan
bahwa pluralisme adalah sebuah paham tentang pluralitas. Paham, bagaimana
melihat keragaman dalam agama-agama, mengapa dan bagaimana memandang
agama-agama, yang begitu banyak dan beragam. Apakah hanya ada satu agama yang
benar atau semua agama benar.
Paham pluralisme
dengan begitu, sangat menghendaki terjadinya dialog antaragama, dan dengan
dialog agama memungkinkan antara satu
agama terhadap agama lain untuk mencoba memahami cara baru yang mendalam
mengenai bagaimana Tuhan mempunyai jalan penyelamatan. Pengalaman ini, saya kira sangat penting untuk memperkaya
pengalaman antar iman, sebagai pintu masuk ke dalam dialog teologis. Inilah
sebuah teologi yang menurut Wilfred C. Smith (1981: 187) disebut dengan istilah world theology
(teologi dunia) dan oleh John Hick (1980: 8) disebutnya global theology
(teologi global). Kemudian teologi tersebut belakangan ini terkenal dengan
sebutan teologi pluralisme.
Pengakuan
terhadap pluralisme agama dalam suatu komunitas umat beragama menjanjikan
dikedepankanya prinsip inklusifitas yang bermuara pada tumbuhnya kepekaan
terhadap berbagai kemungkinan unik yang bisa memperkaya usaha manusia dalam
mencari kesejahteraan spritual dan moral. Gagasan bahwa manusia adalah satu
umat, seperti ini menurut Sachedina “merupakan dasar pluralisme teologis yang
menuntut adanya kesetaraan hak yang diberikan Tuhan bagi semua. Manusia tetap
merupakan “satu bangsa” berdasarkan kemanusiaan yang sama-sama mereka miliki.
Karena itulah diperlukan suatu “etika global” yang bisa memberikan dasar
pluralistik untuk memperantarai hubungan antar agama di antara orang-orang yang
memiliki komitmen spritual berbeda”.
Pengertian dan tujuan pluralisme seperti itu,
sebenarnya telah lama menimbulkan perdebatan di kalangan umat beragama. Sampai
akhirnya, pembicaraan mengenai pluralisme sempat “menghangat” kembali ketika
MUI melalui fatwanya baru-baru ini, menyatakan bahwa pluralisme adalah paham yang sesat dan sangat membahayakan,
karena dianggap sebagai paham yang menyebarkan “ semua agama adalah benar”.
Fatwa MUI yang
melarang pluralisme seperti itu, kemudian menunai banyak protes dari masyarakat
luas. Karena dianggap fatwa MUI seperti
itu akan sangat membahayakan bagi integritas bangsa Indonesia yang pluralistik.
Bahkan, salah satu dari ketua MUI ketika menanggapi protes dari berbagai
kalangan, ada yang dengan tegas menyatakan bahwa mereka yang protes itu
berdasarkan akal, sedangkan ulama (MUI) berdasarkan Alquran dan Sunnah Rasul.
Padahal kalau kita mau memahami dan
mempelajari pengertian dari pluralisme
yang dimaksud, pastilah kita akan secara arif dapat menerimanya. Bukankah
pluralisme pada dasarnya justru sangat compatible dengan prinsip-prinsip ajaran
Islam. Apalagi kalau mau membaca
sejarah, pasti kita dapat menyimpulkan bahwa meskipun Islam merupakan agama
termuda dalam tradisi Ibrahimi. Pemahaman diri Islam sejak kelahiranya pada
abad ke-7 justru sudah melibatkan unsur kritis pluralisme, yaitu hubungan Islam
dengan agama lain. Dan agama Ibrahimi
termuda ini sebenarnya bisa mengungkap diri dalam suatu dunia agama
pluralistis. Islam mengakui dan menilainya secara kritis, tapi tidak pernah
menolaknya atau menganggapnya salah.
Bahkan menurut
Alquran sendiri, pluralitas adalah salah satu kenyataan objektif komunitas umat
manusia, sejenis hukum Allah atau Sunnah
Allah, dan bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan, di hari akhir
nanti, mengapa manusia berbeda satu dari yang lain, dan mengapa jalan manusia
berbeda-beda dalam beragama. Dalam al-Qura’an disebutkan, yang artinya: “Untuk
masing-masing dari kamu (umat manusia) telah kami tetapkan Hukum (Syari’ah) dan
jalan hidup (minhaj). Jika Tuhan menghendaki, maka tentulah ia jadikan kamu
sekalian umat yang tunggal (monolitk). Namun Ia jadikan kamu sekalian berkenaan
dengan hal-hal yang telah dikarunia-Nya kepada kamu. Maka berlombalah kamu
sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah-lah tempat kalian semua
kembali; maka Ia akan menjelaskan kepadamu sekalian tentang perkara yang pernah
kamu perselisihkan” (QS 5: 48).
Dalam kaitannya yang langsung dengan
prinsip inilah Allah, di dalam Alquran, menegur keras Nabi Muhammad SAW ketika
ia menunjukkan keinginan dan kesediaan yang menggebu untuk memaksa manusia
menerima dan mengikuti ajaran yang disampaikanya, sebagai berikut: “Jika Tuhanmu
menghendaki, maka tentunya manusia yang ada di muka bumi ini akan beriman. Maka
apakah kamu hendak memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri? (QS 10:
99).
Demikianlah beberapa prinsip dasar Alquran yang berkaitan dengan masalah pluralisme dan toleransi. Paling tidak, dalan dataran konseptual, Alquran telah memberi resep atau arahan-arahan yang sangat diperlukan bagi manusia Muslim untuk memecahkan masalah kemanusiaan universal, yaitu realitas pluralitas keberagamaan manusia dan menuntut supaya bersikap toleransi terhadap kenyataan tersebut demi tercapainya perdamaian di muka bumi. Karena Islam menilai bahwa syarat untuk membuat keharmonisan adalah pengakuan terhadap komponen-komponen yang secara alamiah berbeda.
Melihat peran
pentingnya sikap pluralisme untuk bisa mengakui dan menghormati “perbedaan” dan sikap seperti ini ternyata
memiliki landasan teologis dari Al-Qur’an maka, teologi pluralisme seperti ini
sangat penting untuk ditekankan pada peserta didik melalui pendidikan agama,
sebab persoalan teologi sampai sekarang masih menimbulkan kebingungan di antara
agama-agama. Soal teologi yang menimbulkan kebingungan adalah standar: bahwa
agama kita adalah agama yang paling sejati berasal dari Tuhan, sedangkan agama
lain adalah hanya kontruksi manusia. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya
dipakai untuk menghakimi agama lain dalam derajad keabsahan teologis di bawah
agama kita sendiri. Lewat standar ganda inilah kita menyaksikan bermunculnya
perang klaim-klaim kebenaran dan janji penyelamatan, yang kadang-kadang kita
melihatnya berlebihan, dari satu agama atas agama lain.
Selain itu, era
sekarang adalah era multikulturalisme dan pluralisme, yang dimana seluruh
masyarakat dengan segala unsurnya dituntut untuk saling tergantung dan
menanggung nasib secara bersama-sama demi terciptanya perdamaian abadi. Salah
satu bagian penting dari konsekuensi tata kehidupan global yang ditandai
kemajemukan etnis, budaya, dan agama tersebut, adalah membangun dan menumbuhkan
kembali teologi pluralisme dalam masyarakat.
Demi tujuan itu,
maka pendidikan sebenarnya masih dianggap sebagai instrumen penting. Sebab,
“pendidikan” sampai sekarang masih diyakini mempunyai peran besar dalam
membentuk karakter individu-individu yang dididiknya, dan mampu menjadi
“guiding light” bagi generasi muda penerus bangsa. Dalam konteks inilah,
pendidikan agama sebagai media penyadaran umat perlu membangun teologi inklusif
dan pluralis, demi harmonisasi agama-agama (yang telah menjadi kebutuhan
masyarakat agama sekarang).
Hal tersebut dengan
suatu pertimbangan, bahwa salah satu peran dan fungsi pendidikan agama
diantaranya adalah untuk meningkatkan keberagamaan peserta didik dengan
keyakinan agama sendiri, dan memberikan kemungkinan keterbukaan untuk
mempelajari dan mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan sikap
toleransi (Sealy, 1986: 43-44). Ini artinya, pendidikan agama pada prinsipnya,
juga ikut andil dan memainkan peranan yang sangat besar dalam
menumbuh-kembangkan sikap-sikap pluralisme dalam diri siswa.
Apalagi, kalau mencermati
pernyatan yang telah disampaikan oleh Alex R. Rodger (1982: 61) bahwa
“pendidikan agama merupakan bagian integral dari pendidikan pada umumnya dan
berfungsi untuk membantu perkembangan pengertian yang dibutuhkan bagi
orang-orang yang berbeda iman, sekaligus juga untuk memperkuat ortodoksi
keimanan bagi mereka”. Artinya pendidikan agama adalah sebagai wahana untuk
mengekplorasi sifat dasar keyakinan agama di dalam proses pendidikan dan secara
khusus mempertanyakan adanya bagian dari pendidikan keimanan dalam masyarakat.
Pendidikan agama dengan begitu, seharusnya mampu merefleksikan persoalan
pluralisme, dengan mentransmisikan nilai-nilai yang dapat menumbuhkan sikap
toleran, terbuka dan kebebasan dalam diri generasi muda.
Organisasi
sekolah dan atmosfirnya harus mampu mewujudkan jalan menuju kehidupan secara
personal dan sosial. Sekolah harus dapat mempraktekkan sesuatu yang telah
diajarkanya. Dengan demikian, lingkungan sekolah tersebut dapat dijadikan
percontohan oleh murid-murid untuk learning
by doing. Di dalam sekolah, peserta didik seharusnya dapat mempelajari
adanya kurikulum-kurikulum umum di dalam kelas-kelas heterogen. Hal ini
diperlukan guna mendorong adanya persamaan ideal, membangun perasaan persamaan,
dan memastikan adanya input dari peserta didik yang memiliki latar belakang
berbeda.
Adanya serentetan
kerusuhan-kerusuhan yang berbau SARA di Indonesia, menunjukkan bahwa secara
kolektif kita sebenarnya tidak mau belajar tentang bagaimana hidup secara
bersama secara rukun. Bahkan, dapat dikatakan, agen-agen sosialisasi utama
seperti keluarga dan lembaga pendidikan, tampaknya tidak berhasil menanamkan
sikap toleransi-inklusif dan tidak mampu mengajarkan untuk hidup bersama dalam
masyarakat plural. Di sinilah letak pentingnya sebuah ikhtiar menanamkan
teologi pluralisme melalui pendidikan agama. Sehingga, masyarakat Indonesia
akan mampu membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas
kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama. Inilah pendidikan akan
nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.
Melalui
pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam berbasis kemajemukan dengan
mempertimbangkan pengembangan komponen-komponen, ya
, bahan, metode, peserta didik, media, lingkungan, dan sumber belajar
Maksud dan tujuan pendidikan pluralisme, dengan begitu akan dapat dijadikan
sebagai jawaban atau solusi alternatif bagi keinginan untuk merespon
persoalan-persoalan di atas. Sebab dalam pendidikanya, pemahaman Islam yang
hendak dikembangkan oleh pendidikan berbasis pluralisme adalah pemahaman dan
pemikiran yang bersifat inklusif.
B .
Pembahasan
1. Islam Dan Pluralisme
Dalam Islam berteologi secara inklusif dengan menampilkan
wajah agama secara santun dan ramah sangat dianjurkan. Islam bahkan
memerintahkan umat Islam untuk dapat berinteraksi terutama dengan agama Kristen
dan Yahudi dan dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat
intelektual/teologis secara bersama-sama dan dengan cara yang sebaik-baiknya
(QS al-Ankabut/29: 46), tentu saja tanpa harus menimbulkan prejudice atau kecurigaan di antara mereka.
Karena menurut al-Qur’an sendiri, sebagai sumber normatif
bagi suatu teologi inklusif. Karena bagi kaum muslimin, tidak ada teks lain
yang menempati posisi otoritas mutlak dan tak terbantahkan selain Alqur’an.
Maka, Alqur’an merupakan kunci untuk menemukan dan memahami konsep persaudaraan
Islam-terhadap agama lain---pluralitas
adalah salah satu kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis
hukum Allah atau Sunnah Allah,
sebagaimana firman Allah SWT: “ Hai
manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui Lagi Maha Mengenal” (Al
Hujurat 49: 13).
Kalu kita
membaca dari ayat tersebut, secara kritis dan penuh keterbukaan, pastilah kita
akan menemukan suatu kesimpulan bahwa Allah SWT sendiri sebenarnya secara tegas
telah menyatakan bahwa ada kemajemukan di muka bumi ini. Perbedaan laki-laki dan perempuan, perbedaan suku
bangsa; ada orang Indonesia, Jerman, Amerika, orang Jawa, Sunda atau bule,
adalah realitas pluralitas yang harus dipandang secara positif dan optimis.
Perbedaan itu, harus diterima sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas
dasar kenyataan itu. Bahkan kita disuruh untuk menjadikan pluralitas tersebut,
sebagai instrumen untuk menggapai kemuliaan di sisi Allah SWT, dengan jalan
mengadakan interaksi sosial antara individu, baik dalam konteks pribadi atau
bangsa.
Kenapa kita
diperintah untuk saling mengenal dan berbuat baik sama orang lain, meskipun
berbeda agama, suku dan kulit dan dilarang untuk memperolok-olok satu sama
lain? Jawabannya adalah bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan, di
hari akhir nanti, mengapa manusia berbeda satu dari yang lain, dan mengapa
jalan manusia berbeda-beda dalam beragama: “Untuk
masing-masing dari kamu (umat manusia) telah kami tetapkan Hukum (Syari’ah) dan
jalan hidup (minhaj). Jika Tuhan menghendaki, maka tentulah ia jadikan kamu
sekalian umat yang tunggal (monolitk). Namun Ia jadikan kamu sekalian berkenaan
dengan hal-hal yang telah dikarunia-Nya kepada kamu. Maka berlombalah kamu
sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada
Allah-lah tempat kalian semua kembali; maka Ia akan menjelaskan kepadamu
sekalian tentang perkara yang pernah kamu perselisihkan” (Q.S. Al Maaidah:
48).
Bahkan konsep
unity in diversity, dalam Islam telah diakui keabsahanya dalam kehidupan ini.
Untuk mendukung pernyataan ini, kita dapat melacak kebenaranya dalam perjalanan
sejarah yang telah ditunjukkan oleh al-Qur’an, bahwa Islam telah memberi
karaketer positif kepada komunitas non-Muslim, Ini bisa dilihat, misalnya, dari
berbagai istilah eufemisme, mulai dari ahl
al-kitab, shabih bi ah al-kitab, din Ibrahim sampai dinan hanifan. Dan secara spesifik, Islam malahan mengilustrasikan
karakter para pemuka agama Kristen sebagai manusia dengan sifat rendah hati (la yastakbirun) serta pemeluk agama Nasrani sebagai kelompok
dengan jalinan emosional (aqrabahum
mawaddatan) terdekat dengan komunitas Muslim (Q.S. Al Maidah: 82).
Dalam kaitannya
yang langsung dengan prinsip untuk dapat menghargai agama lain dan dapat
menjalin persahabatan dan perdamaian dengan ‘mereka’ inilah Allah, di dalam
al-Qur’an, menegur keras Nabi Muhammad SAW ketika ia menunjukkan keinginan dan
kesediaan yang menggebu untuk memaksa manusia menerima dan mengikuti ajaran
yang disampaikanya, sebagai berikut: “Jika
Tuhanmu menghendaki, maka tentunya manusia yang ada di muka bumi ini akan
beriman. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia, di luar kesediaan mereka
sendiri? (Q.S. Yunus: 99).
Dari ayat tersebut tergambar dengan jelas bahwa persoalan kemerdekaan beragama dan keyakinan menjadi “tanggungjawab” Allah SWT, dimana kita semua dituntut toleran terhadap orang yang tidak satu dengan keyakinan kita. Bahkan nabi sendiri dilarang untuk memaksa orang kafir untuk masuk Islam. Maka dengan begitu, tidaklah dibenarkan “kita” menunjukkan sikap kekerasan, paksaan, menteror dan menakut-nakuti orang lain dalam beragama.
Apalagi kalau kita mau memahami secara benar, bahwa pada dasarnya menurut al-Qur’an, pokok pangkal kebenaran universal Yang Tunggal itu ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa, atau tauhid. Tugas para Rasul adalah menyampaikan ajaran tentang tauhid ini, serta ajaran tentang keharusan manusia tunduk dan patuh hanya kepada-Nya saja (Q. S. al-Ambiya’: 92) dan justru berdasarkan paham tauhid inilah, al-Qur’an mengajarkan paham kemajemukan keagamaan. Dalam pandangan teologi Islam, sikap ini menurut Budy Munawar Rahman (2001: 15), dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama yang ada; bahwa semua agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama, dan persis karena alasan inilah al-Qur’an mengajak kepada titik pertemuan (kalimatun sawa’): “Katakanlah olehmu (Muhammad): Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawa’) antara kami dan kamu: yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak mempersekutukan-Nya kepada apapun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah” (Q.S. al-Maidah: 64).
Implikasi dari kalimatun sawa’
ini menurut Alqur’an adalah: siapapun dapat memperoleh “keselamatan” asalkan
dia beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, dan berbuat baik”. Jadi, dalam
prespektif ini, al-Qur’an tidak mengingkari kasahihan pengalaman transendensi
agama, semisal Kristen bukan? Islam malah mengetahui dan bahkan mengakui daya penyelamatan kaum lain (termasuk
Kristen) itu dalam hubunganya dengan lingkup monoteisme yang lebih luas:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan yang beragama Yahudi, Kristen, dan
Shabiin, barang siapa dari mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan
mengerjakan amal baik, maka mereka akan dapat ganjaran dari Tuhan mereka; dan
tidak ada ketakutan dan tidak ada duka cita atas mereka” (Q.S 2: 62).
Hal itu sejalan dengan ajaran bahwa
monoteisme merupakan dogma yang diutamakan dalam Islam. Monoteisme, yakni
percaya kepada Tuhan yang Maha Esa, dipandang jalan untuk keselamatan manusia.
Dalam al-Qur’an ayat 48 dan 116 surah al-Nisa’ menerangkan bahwa Allah tidak mengampuni dosa orang yang
mempersekutukan Tuhan tetapi mengampuni dosa selainya bagi barang siapa yang
dikehendaki Allah. Kedua ayat ini mengandung arti bahwa dosa dapat diampuni
Tuhan kecuali dosa sirk atau politeis. Inilah satu-satunya dosa yang tak dapat
diampuni Tuhan.
Alqur’an, dengan demikian, sebagaimana
ditegaskan oleh Abdulaziz Sachedina dalam bukunya The Islamic Roots of Democratic Pluralism (2002: 59), adalah jelas
memandang dirinya sebagai mata rantai kritis dalam pengalaman pewahyuan umat
manusia—satu jalan universal yang dimaksudkan untuk semua makhluk. Secara
khusus, Islam juga memiliki etos biblikal dan Kristen, dan Islam memiliki sikap
yang luar biasa inklusif terhadap Ahli Kitab, yang dengan merekalah Islam
terhubungkan melalui manusia pertama di muka bumi.
2. Islam Memerintahkan Untuk Bersikap ‘Toleran’ Kepada Agama
lain
Sedangkan secara umum, pandangan Islam terhadap agama lain (Ahli Kitab—pen) sangat positif dan sangat kontruktif. Hal ini dapat dilihat dari nilai dan ajarannya yang memberikan peluang dan mendorong kepada umat Islam untuk dapat melakukan interaksi sosial, kerja sama dengan mereka. Tentang hal ini, Farid Asaeck (2000: 206-207)), telah menunjukkan bukti-bukti sebagai berikut; Pertama, Ahli Kitab, sebagai penerima wahyu, diakui sebagai bagian dari komunitas. Ditujukan kepada semua nabi, al-Qur’an mengatakan: “Dan sungguh inilah umatmu, umat yang satu” (QS al-Mu’miunun: 52). Sehingga konsep Islam tentang para pengikut Kitab Suci atau Ahli Kitab yaitu konsep yang memberikan pengakuan tertentu kepada para penganut agama lain, yang memiliki Kitab Suci dengan memberikan kebebasan menjalankan ajaran agamanya masing-masing.
Kedua, dalam dua bidang sosial terpenting, makanan dan perkawinan, sikap murah hati al-Qur’an terlihat jelas, bahwa makanan “orang-orang yang diberi Alkitab” dinyatakan sebagai sah (halal) bagi kaum muslim dan makanan kaum muslim sah bagi mereka (QS al-Maidah: 5). Demikian juga, pria muslim diperkenankan mengawini “wanita suci dari Ahli Kitab” (QS al-Maidah: 5). Jika kaum Muslim diperkenankan hidup berdampingan dengan golongan lain dalam hubungan yang seintim hubungan perkawinan, ini menunjukkan secara eksplisit bahwa permusuhan tidak dianggap sebagai norma dalam hubungan Muslim-kaum lain.
Ketiga, dalam bidang hukum agama, norma-norma dan peraturan kaum Yahudi dan Nasrani diakui (QS al-Maidah: 47) dan bahkan dikuatkan oleh Nabi ketika beliau diseru untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka (QS al-Maidah: 42-43). Keempat, kesucian kehidupan religius penganut agama wahyu lainya ditegaskan oleh fakta bahwa izin pertama yang pernah diberikan bagi perjuangan bersenjata dimaksudkan untuk menjamin terpeliharanya kesucian ini, “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagai manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja dan sinagog-sinagog orang Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak di sebut nama Allah” (QS al-Hajj: 40).
Perintah Islam agar umatnya bersikap toleran, bukan hanya pada agama Yahudi dan Kristen, tetapi juga kepada agama-agama lain. Ayat 256 surat al-Baqarah mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam soal agama karena jalan lurus dan benar telah dapat dibedakan dengan jelas dari jalan salah dan sesat. Terserahlan kepada manusia memilih jalan yang dikehendakinya. Telah dijelaskan mana jalan benar yang akan membawa kepada kesengsaraan. Manusia merdeka memilih jalan yang dikehendakinya. Kemerdekaan ini diperkuat oleh ayat 6 surah al-Kafirun yang mengatakan: Bagimulah agamamu dan bagiku agamaku.
Demikianlah beberapa prinsip dasar al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah pluralisme dan anjuran untuk dapat menunjukkan sikap saling menghormati, ramah dan bersahabat dengan agama Kristen, secara khusus. Dengan begitu, jauh-jauh hari, al-Qur’an sesungguhnya telah mensinyalir akan munculnya bentuk “truth claim” (Abdullah, 1999: 68). Baik itu dalam wilayah intern umat beragama maupun wilayah antar-umat beragama. Kedua-duanya, sama-sama tidak favourable dan tidak kondusif bagi upaya membangun tata pergaulan masyarakat pluralistik yang sehat.
Oleh
al-Qur’an, kecendrungan manusia untuk mengantongi “truth claim” yang potensial untuk ekplosif dan destruktif itu,
kemudian dinetralisir dalam bentuk anjuran untuk selalu waspada terhadap bahaya
ektrimitas dalam berbagai bentuknya. Dan manusia Muslim sendiri dituntut untuk
senantiasa merendahkan hati dan bersedia dengan “kebenaran” (al-haq) dan kesabaran (al-Shabar) dalam setiap langkah dalam
perjalanan hidupnya (surat al-Ashr: 1-3).
Paling tidak, dalan dataran konseptual, al-Qur’an telah memberi resep atau arahan-arahan yang sangat diperlukan bagi manusia Muslim untuk memecahkan masalah kemanusiaan universal, yaitu realitas pluralitas keberagamaan manusia dan menuntut supaya bersikap toleransi terhadap kenyataan tersebut demi tercapainya perdamaian di muka bumi. Karena Islam menilai bahwa syarat untuk membuat keharmonisan adalah pengakuan terhadap komponen-komponen yang secara alamiah berbeda.
Dengan begitu, dapat pula dikatakan konsepsi pluralisme dalam Islam sudah terbawa pada misi awal agama ini diturunkan, yakni membawa kasih terhadap seluruh alam tanpa batas-batas atau benturan-benturan dimensi apapun. Semua orang yang mengaku Islam haruslah menunjukkan sikap saling “mengasihi” kepada sesama manusia. Karena seseorang bisa disebut sebagai seorang muslim, menurut kanjeng nabi adalah Al-Muslimu man salima Al-muslimuna min lisanihi wa yadihi. Maksudnya adalah seorang muslim yang senantiasa menebarkan sikap damai dan rasa aman dihati masyarakatnya.
3. Kegagalan Pendidikan Agama
Berangkat dari
kesadaran adanya fenomena bahwa “satu Tuhan, banyak agama” merupakan fakta dan
realitas yang dihadapi manusia sekarang. Maka, manusia sekarang harus didorong
menuju kesadaran bahwa pluralisme memang sungguh-sungguh fitrah kehidupan
manusia.
Mendorong
setiap orang untuk dapat menghargai “keanekaragaman” adalah sangat penting
segera dilakukan, terutama sekali di negara Indonesia yang pluralistik ini.
Dampak krisis multi-dimensional yang melandanya, menyebabkan bangsa Indonesia
menghadapi berbagai problem sosial. Salah satu problem besar dimana peran agama
menjadi sangat dipertanyakan adalah konflik etnis, kultur dan religius, atau
yang lebih dikenal dengan SARA.
Kegagalan
agama dalam memainkan perannya sebagai problem solver bagi persoalan SARA erat
kaitanya dengan pengajaran agama secara eklusif. Maka, agar bisa keluar dari
kemelut yang mendera bangsa Indonesia terkait persoalan SARA, adalah sudah
saatnya bagi bangsa Indonesia untuk memunculkan wajah pendidikan agama yang
inklusif dan humanis.
Pada tataran teologis, dalam pendidikan agama perlu mengubah
paradigma teologis yang pasif, tektualis, dan eklusif. Menuju teologi yang saling menghormati,
saling mengakui eksistensi, berfikir dan bersikap positif, serta saling
memperkaya iman. Hal ini dengan tujuan untuk membangun interaksi umat beragama
dan antarumat beragama yang tidak hanya berkoeksistensi secara harmonis dan
damai, tetapi juga bersedia aktif dan pro-aktif kemanusiaan.
Sebenarnya masyarakat Indonesia telah lama akrab dengan
diktum Bhinneka Tunggal Ika. Namun sayangnya, konsep ini telah mengalami
pemelintiran makna dan bias interpretasi, terutama sepanjang pemerintahan Orde
Baru. Kebijakan sosial-politik saat itu cenderung uniformistik, sehingga
tampaknya budaya milik kelompok dominanlah yang diajarkan dan disalurkan oleh
sekolah dari satu generasi kepada generasi lainya.
Sekolah
pada saat itu juga ditengarai hanya merefleksikan dan menggemakan stereotip dan
prasangka antarkelompok yang sudah terbentuk dan beredar dalam masyarakat,
tidak berusaha menetralisisir dan menghilangkanya. Bahkan, ada indikasi bahwa
sekolah ikut mengembangkan prasangka dan mengeskalasi ketegangan antarkelompok
melalui perundang-undangan yang mengkotak-kotakkan penyampaiaan pendidikan
agama, isi kurikulum yang etnosentris, dan dinamika relasi sosial antarsekolah
yang segregatif (Khisbiyah, 2000: 156-157). Bukan tak mungkin segregasi sekolah
berdasarkan kepemelukan agama juga ikut memeperuncing prasangka dan proses
demonisasi antara satu kelompok dengan kelompok lainya, baik secara langsung
maupun atau tidak langsung .
Padahal, menurut S. Hamid Hasan, “keragaman
sosial, budaya, ekonomi, dan aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi adalah
suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Namun demikian, keragaman
sosial, budaya, ekonomi, dan aspirasi politik yang seharusnya menjadi faktor
yang diperhitungkan dalam penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan
dokumen, sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan kurikulum, nampaknya belum
dijadikan sebagai faktor yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan kurikulum
pendidikan di negara kita” (Hasan, 2000: 511). Maka, akibatnya, wajar manakala
terjadi kegagalan dalam pendidikannya (termasuk pendidikan agama), terutama
sekali dalam menumbuhkan sikap-sikap untuk menghargai adanya perbedaan dalam
masyarakat.
Selain itu, Kautsar Azhari Noer (2001) menyebutkan, paling
tidak ada empat faktor penyebab kegagalan pendidikan agama dalam menumbuhkan
pluralisme. Pertama, penekananya pada proses transfer ilmu agama ketimbang pada
proses transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik; kedua,
sikap bahwa pendidikan agama tidak lebih dari sekedar sebagai “hiasan
kurikulum” belaka, atau sebagai “pelengkap” yang dipandang sebelah mata;
ketiga, kurangnya penekanan pada penanaman nilai-nilai moral yang mendukung
kerukunan antaragama, seperti cinta, kasih sayang, persahabatan, suka menolong,
suka damai dan toleransi; dan keempat, kurangnya perhatian untuk perhatikan
untuk mempelajari agama-agama lain (Noer dalam Sumartana, 2001: 239-240).
Melihat realitas tersebut, bahkan ditambah dengan adanya
banyak konflik, kekerasan, dan bahkan kekejaman yang dijalankan atas nama
agama, sebagaimana tersebut di atas, seharusnyalah yang menjadi tujuan refleksi
atas pendidikan agama adalah mampu melakukan transformasi kehidupan beragama
itu sendiri dengan melihat sisi ilahi
dan sosial-budayanya. Pendidikan agama harus mampu menanamkan cara hidup
yang lebih baik dan santun kepada peserta didik. Sehingga sikap-sikap seperti
saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman agama dan budaya
dapat tercapai di tengah-tengah masyarakat plural.
4. Perlunya Pendidikan Pluralisme
Dengan menyadari bahwa masyarakat kita terdiri dari banyak
suku dan beberapa agama, jadi sangat pluralis. Maka, pencarian bentuk
pendidikan alternatif mutlak diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang
berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkanya kepada generasi
berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang
beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta
mengerjakan keterbukaan dan dialog. Bentuk pendidikan seperti inilah yang
banyak ditawarkan oleh “banyak ahli” dalam rangka mengantisipasi konflik
keagamaan dan menuju perdamaian abadi, yang kemudian terkenal dengan sebutan
“pendidikan pluralisme”.
Apakah
sebenarnya pendidikan pluralisme itu? Kalau kita melacak referensi tentang
pendidikan pluralisme, banyak sekali literatur mengenai pendidikan tersebut
atau sering dikenal orang dengan sebutan “pendidikan multikultural”. Namun
literatur-literatur tersebut menunjukkan adanya keragaman dalam pengertian
istilah. Sleeter (dalam Burnet, 1991: 1) mengartikan pendidikan multikultural
sebagai any set of proces by which
schools work with rather than against oppressed group. Banks, dalam bukunya Multicultural education: historical development, dimension, and
practice (1993) menyatakan bahwa meskipun tidak ada konsensus tentang itu
ia berkesimpulan bahwa di antara banyak pengertian tersebut maka yang dominan
adalah pengertian pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color.
Lebih jelasnya, menariklah kalau kita
memperhatikan suatu defenisi tentang
pendidikan pluralisme yang disampaikan Frans Magnez Suseno (dalam Suara
Pembaharuan, 23 September, 2000), yaitu suatu pendidikan yang mengandaikan kita
untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas
kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita sehingga kita mampu melihat
“kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan
cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk
perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.
Senada dengan
itu, Ainurrofiq Dawam menjelaskan defenisi pendidikan multikultural sebagai
proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya etnis, suku, dan aliran
(agama). Pengertian pendidikan multikultural yang demikian, tentu mempunyai
implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri
secara umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat.
Dengan demikian , pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan
penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia darimana
pun dia datangnya dan berbudaya apa pun dia. Harapanya, sekilas adalah
terciptanya kedamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan,
kesejahteraan yang tidak dihantui
manipulasi, dan kebahagiaan yang terlepas dari jaring-jaring manipulasi
rekayasa sosial.
Muhammad Ali
(dalam Kompas, 26 April 2002) menyebut pendidikan yang berorientasi pada proses
penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama sekaligus berwawasan
multikultural, seperti itu, dengan sebutan “pendidikan pluralis multikultural”.
Menurutnya, pendidikan semacam itu harus
dilihat sebagai bagian dari upaya komprehensif mencegah dan menaggulangi
konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa,
sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi.
Memperhatikan
beberapa defenisi tentang pendidikan pluralisme tersebut di atas, secara
sederhana dapatlah pendidikan pluralisme didefenisikan sebagai pendidikan
untuk/tentang keragaman keagamaan dan kebudayaan dalam merespon perubahan
demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan. Pendidikan disini, dituntut untuk dapat merespon terhadap
perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak
bagi setiap kelompok.
5. Kurikulum Pendidikan Agama Islam Berbasis Kemajemukan
Pendidikan
adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan, karena itu
perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang memang seharusnya
terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Perbaikan pendidikan pada
semua tingkat perlu terus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan.
Pemikiran ini mengandung konsekuensi bahwa penyempurnaan atau perbaikan
kurikulum pendidikan agama Islam adalah untuk mengantisipasi kebutuhan dan
tantangan masa depan dengan diselaraskan terhadap perkembangan kebutuhan dunia
usaha atau industri, perkembangan dunia kerja, serta perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni. Konsep yang sekarang banyak diwacanakan oleh
banyak ahli adalah kurikulum pendidikan berbasis pluralisme.
Sebagaimana
disebut di atas, bahwa konsep pendidikan pluralisme adalah pendidikan yang
berorientasi pada realitas persoalan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia dan
umat manusia secara keseluruhan.
Pendidikan pluralisme digagas dengan semangat besar “untuk memberikan sebuah model
pendidikan yang mampu menjawab tantangan
masyarakat pasca modernisme”.
Melihat
realitas tersebut, maka disinilah letak pentingnya menggagas pendidikan Islam
berbasis pluralisme dengan menonjolkan
beberapa karakter sebagai berikut; pertama
pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga pendidikan umum
yang bercirikan Islam. Artinya, di samping menonjolkan pendidikannya dengan
penguasaan atas ilmu pengetahuan, namun karakter keagamaan juga menjadi bagian
integral dan harus dikuasai serta menjadi bagian dari kehidupan siswa
sehari-hari. Tentunya, ini masih menjadi pertanyaan, apakah sistem pendidikan
seperti ini betul-betul mampu membongkar sakralitas ilmu-ilmu keagamaan dan
dikhotomi keilmuan antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu keagamaan.
Kedua ; Pendidikan Islam juga harus mempunyai karakter sebagai
pendidikan yang berbasis pada pluralitas. Artinya, bahwa pendidikan yang
diberikan kepada siswa tidak menciptakan suatu pemahaman yang tunggal, termasuk
di dalamnya juga pemahaman tentang realitas keberagamaan. Kesadaran pluralisme merupakan suatu
keniscayaan yang harus disadari oleh setiap peserta didik. Tentunya, kesadaran
tersebut tidak lahir begitu saja, namun mengalami proses yang sangat panjang,
sebagai realitas pemahaman yang komprehenship dalam melihat suatu fenomena.
Ketiga; Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai
lembaga pendidikan yang menghidupkan sistem demokrasi dalam pendidikan. Sistem
pendidikan yang memberikan keluasaan pada siswa untuk mengekspresikan pendapatnya secara bertanggung jawab. Sekolah memfasilitasi adanya “mimbar bebas”,
dengan meberikan kesempatan kepada semua civitas untuk berbicara atau
mengkritik tentang apa saja, asal bertanggung jawab. Tentunya, sistem demokrasi
ini akan memberikan pendidikan pada siswa tentang realitas sosial yang
mempunyai pandangan dan pendapat yang berbeda. Di sisi yang lain, akan
membudayakan “reasoning” bagi civitas di lembaga pendidikan Islam.
Perlunya
membentuk pendidikan Islam berbasis pluralisme tersebut, sekali lagi merupakan
suatu inisiasi yang lahir dari realitas sejarah pendidikan khususnya di
Indonesia yang dianggap gagal dalam membangun citra kemanusiaan. Dimana
umumnya, pendidikan umum hanya mencetak orang-orang yang pinter namun tidak
mempunyai integritas keilmuan dan akhlaq ilmuan. Ini yang kemudian melahirkan
para koruptor yang justru menjadi penyakit dan menyengsarakan bangsa ini. Di
satu sisi, pendidikan agama yang ada hanya menciptakan ahli agama yang cara
berpikirnya parsial dan sempit. Akhirnya,
semakin banyak orang pinter ilmu agama semakin kuat pertentangan dan
konflik dalam kehidupan. Inilah sistem pendidikan yang gagal dalam menciptakan
citra kemanusiaan.
Untuk
merealisasikan cita-cita pendidikan yang mencerdaskan seperti tersebut, lembaga
pendidikan Islam perlu menerapkan sistem pengajaran yang berorientasi pada
penanaman kesadaran pluralisme dalam kehidupan. Adapun beberapa program
pendidikan yang sangat strategis dalam menumbuhkan kesadaran pluralisme adalah: pendidikan sekolah harus membekali para
mahasiswa atau peserta didik dengan kerangka (frame work) yang memungkinkannya menyusun dan memahami pengetahuan
yang diperoleh dari lingkunganya (UNESCO, 1981).
Karena
masyarakat kita majemuk, maka kurikulum PAI yang ideal adalah kurikulum yang
dapat menunjang proses siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis dan
menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh, yaitu generasi muda yang tidak hanya
pandai tetapi juga bermoral dan etis, dapat hidup dalam suasana demokratis satu
dengan lain, dan menghormati hak orang lain.
Selain itu,
perlu kiranya memperhatikan kurikulum sebagai proses. Ada empat hal yang perlu
diperhatikan guru dalam mengembangkan kurikulum sebagai proses ini, yaitu; (1)
posisi siswa sebagai subjek dalam belajar, (2) cara belajar siswa yang
ditentukan oleh latar belakang budayanya, (3) lingkungan budaya mayoritas
masyarakat dan pribadi siswa adalah entry
behaviour kultur siswa, (4) lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar
(Hamid, op cit: 522). Dalam konteks
deskriptif ini, kurikulum pendidikan
mestilah mencakup subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan
ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan
mediasi: HAM; demokrasi dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek
lain yang relevan.
Bentuk
kurikulum dalam pendidikan agama Islam hendaknya tidak lagi ditujukan pada
siswa secara individu menurut agama yang dianutnya, melainkan secara kolektif
dan berdasarkan kepentingan bersama. Bila selama ini setiap siswa memperoleh
pelajaran agama sesuai dengan agamanya, maka diusulkan agar lebih baik bila
setiap siswa SLTP-PT memperoleh materi agama yang sama, yaitu berisi tentang
sejarah pertumbuhan semua agama yang berkembang di Indonesia. Sedangkan untuk
SD diganti dengan pendidikan budi pekerti yang lebih menanamkan nilai-nilai
moral kemanusiaan dan kebaikan secara universal. Dengan materi seperti itu, di
samping siswa dapat menentukan agamanya sendiri (bukan berdasarkan keturunan),
juga dapat belajar memahami pluralitas berdasarkan kritisnya, mengajarkan
keterbukaan, toleran, dan tidak eklusif, tapi inklusif (Darmaningtyas, 1999:
165).
Amin Abdullah
(2001: 13-16) menyarankan “perlunya rekontruksi pendidikan sosial-keagamaan
untuk memperteguh dimensi kontrak sosial-keagamaan dalam pendidikan agama”.
Dalam hal ini, kalau selama ini praktek di lapangan, pendidikan agama Islam
masih menekankan sisi keselamatan yang dimiliki dan didambakan oleh orang lain
di luar diri dan kelompoknya sendiri—jadi materi pendidikan agama lebih
berfokus dan sibuk mengurusi urusan untuk kalangan sendiri (individual atau private affairs). Maka, pendidikan agama Islam perlu direkontruksi
kembali, agar lebih menekankan proses edukasi sosial, tidak semata-mata
individual dan untuk memperkenalkan konsep social-contract.
Sehingga pada diri peserta didik tertanam suatu keyakinan, bahwa kita semua
sejak semula memang berbeda-beda dalam banyak hal, lebih-lebih dalam bidang
akidah, iman, credo, tetapi demi untuk menjaga keharmonisan, keselamatan, dan
kepentingan kehidupan bersama, mau tidak mau, kita harus rela untuk menjalin
kerjasama (cooperation) dalam bentuk kontrak sosial antar sesama kelompok warga
masyarakat.
Pendek kata,
agar maksud dan tujuan pendidikan agama Islam berbasis pluralisme dapat
tercapai, kurikulumnya harus didesain sedemikian rupa dan favourable untuk semua
tingkatan dan jenjang pendidikan. Namun demikain, pada level sekolah
dasar dan menengah adalah paling penting, sebab pada tingkatan ini, sikap dan
perilaku peserta didik masih siap dibentuk. Dan perlu diketahui, suatu
kurikulum tidak dapat diimplementasikan tanpa adanya keterlibatan, pembuatan
dan kerjasama secara langsung antara para pembuat kurikulum, penulis text book dan guru.
Langkah-langkah
yang perlu diperhatikan oleh pembuat kurikulum, penulis text book dan guru untuk mengembangkan kurikulum PAI berbasis
pluralisme di Indonesia, adalah sebagai berikut; Pertama, mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam
seperti saat ini kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan
fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan. Untuk tingkat dasar,
filosofi konservatif seperti esensialisme dan perenialisme haruslah dapat
diubah ke filosofi yang lebih menekankan pendidikan sebagai upaya mengembangkan
kemampuan kemanusiaan peserta didik baik sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat bangsa, dan dunia. Filosofi kurikulum yang progresif seperti
humanisme, progresifme, dan rekontruksi sosial dapat dijadikan landasan
pengembangan kurikulum.
Kedua, teori kurikulum tentang konten (curriculum content) haruslah berubah dari teori yang mengartikan
konten sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori, generalisasi
kepada pengertian yang mencakup pula nilai, moral, prosedur, dan ketrampilan
yang harus dimiliki generasi muda.
Ketiga, teori belajar yang digunakan dalam kurikulum masa
depan yang memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidak
boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi belajar yang bersifat
individualistik dan menempatkan siswa dalam suatu kondisi value free, tetapi harus pula didasarkan pada teori belajar yang
menempatkan siswa sebagai makhluk sosial, budaya, politik, dan hidup sebagai
anggota aktif masyarakat, bangsa, dan dunia.
Keempat, proses belajar yang dikembangkan untuk siswa
haruslah pula berdasarkan proses yang memiliki tingkat isomorphism yang tinggi dengan kenyataan sosial. Artinya, proses
belajar yang mengandalkan siswa belajar individualistis harus ditinggalkan dan
diganti dengan cara belajar berkelompok dan bersaing secara kelompok dalam
suatu situasi positif. Dengan cara demikian maka perbedaan antar-individu dapat
dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan siswa terbiasa hidup dengan
berbagai keragaman budaya, sosial, intelektualitas, ekonomi, dan aspirasi
politik.
Kelima, evaluasi
yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian
peserta didik, sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi
yang digunakan haruslah beragam sesuai dengan sifat tujuan dan informasi yang
ingin dikumpulkan. Penggunaan alternatif assesment (portfolio, catatan,
observasi, wawancara) dapat digunakan.
Di samping
perlunya memperhatikan langkah-langkah itu, untuk menuju sebuah PAI yang
menghargai pluralisme, sebenarnya selain aspek kurikulum yang harus didesain,
sebagaimana telah penulis uraikan, aspek pendekatan dan pengajaran. Pola-pola
lama dalam pendekatan atau pengajaran agama harus segera dirubah dengan model
baru yang lebih mengalir dan komunikatif. Aspek perbedaan harus menjadi titik
tekan dari setiap pendidik. Pendidik harus sadar betul bahwa masing-masing
peserta didik merupakan “manusia yang unik” (human uniqe), karena itu tidak boleh ada penyeragaman-peyeragaman.
Dalam prespektif ini, pendidikan agama
Islam yang memberikan materi kajian perbandingan agama dan nilai-nilai prinsip
Islam seperti; toleransi, keadilan, kebebasan dan demokrasi—untuk memperoleh
suatu pemahaman di antara orang-orang yang berbeda iman itu—adalah sebuah
keniscayaan.
6. Menampilkan Islam Toleran Melalui Kurikulum
Mengembangkan
sikap pluralisme pada peserta didik di era sekarang ini, adalah mutlak segera
“dilakukan” oleh seluruh pendidikan agama di Indonesia demi kedamaian sejati.
Pendidikan agama Islam perlu segera menampilkan ajaran-ajaran Islam yang toleran melalui kurikulum pendidikanya
dengan tujuan dan menitikberatkan pada pemahaman dan upaya untuk bisa hidup
dalam konteks perbedaan agama dan budaya, baik secara individual maupun secara
kolompok dan tidak terjebak pada primordialisme dan eklusifisme kelompok agama
dan budaya yang sempit. Sehingga sikap-sikap pluralisme itu akan dapat
ditumbuhkembangkan dalam diri generasi muda kita melalui dimensi-dimensi
pendidikan agama dengan memperhatikan hal-hal seperti berikut:
- Pendidikan agama seperti fiqih, tafsir tidak harus bersifat linier, namun menggunakan pendekatan muqaron. Ini menjadi sangat penting, karena anak tidak hanya dibekali pengetahuan atau pemahaman tentang ketentuan hukum dalam fiqih atau makna ayat yang tunggal, namun juga diberikan pandangan yang berbeda. Tentunya, bukan sekedar mengetahui yang berbeda, namun juga diberikan pengetahuan tentang mengapa bisa berbeda.
- Untuk mengembangkan kecerdasan sosial, siswa juga harus diberikan pendidikan lintas agama. Hal ini dapat dilakukan dengan program dialog antar agama yang perlu diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Islam . Sebagai contoh, dialog tentang “puasa” yang bisa menghadirkan para bikhsu atau agamawan dari agama lain. Program ini menjadi sangat strategis, khususnya untuk memberikan pemahaman kepada siswa bahwa ternyata puasa itu juga menjadi ajaran saudara-saudara kita yang beragama Budha. Dengan dialog seperti ini, peserta didik diharapkan akan mempunyai pemahaman khususnya dalam menilai keyakinan saudara-saudara kita yang berbeda agama. karena memang pada kenyataanya “Di Luar Islampun Ada Keselamatan”.
- Untuk memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga-lembaga pendidikan Islam bukan hanya sekedar menyelenggarakan dialog antar agama, namun juga menyelenggarakan program road show lintas agama. Program road show lintas agama ini adalah program nyata untuk menanamkan kepedulian dan solidaritas terhadap komunitas agama lain. Hal ini dengan cara mengirimkan siswa-siswa untuk ikut kerja bhakti membersihkan gereja, wihara ataupun tempat suci lainnya. Kesadaran pluralitas bukan sekedar hanya memahami keberbedaan, namun juga harus ditunjukkan dengan sikap konkrit bahwa diantara kita sekalipun berbeda keyakinan, namun saudara dan saling membantu antar sesama.
- Untuk menanamkan kesadaran spiritual, pendidikan Islam perlu menyelenggarakan program seperti spiritual work camp (SWC), hal ini bisa dilakukan dengan cara mengirimkan siswa untuk ikut dalam sebuah keluarga selama beberapa hari, termasuk kemungkinan ikut pada keluarga yang berbeda agama. Siswa harus melebur dalam keluarga tersebut. Ia juga harus melakukan aktifitas sebagaimana aktifitas keseharian dari keluarga tersebut. Jika keluarga tersebut petani, maka ia harus pula membantu keluarga tersebut bertani dan sebagainya. Ini adalah suatu program yang sangat strategis untuk meningkatkan kepekaan serta solidaritas sosial. Pelajaran penting lainnya, adalah siswa dapat belajar bagaimana memahami kehidupan yang beragam. Dengan demikian, siswa akan mempunyai kesadaran dan kepekaan untuk menghargai dan menghormati orang lain.
- Pada bulan Ramadhan, adalah bulan yang sangat strategis untuk menumbuhkan kepekaaan sosial pada anak didik. Dengan menyelenggarakan “program sahur on the road”, misalnya. Karena dengan program ini, dapat dirancang sahur bersama antara siswa dengan anak-anak jalanan. Program ini juga memberikan manfaat langsung kepada siswa untuk menumbuhkan sikap kepekaan sosial, terutama pada orang-orang di sekitarnya yang kurang mampu.
Selain beberapa hal di
atas, perlu kiranya mengajarkan materi Aqidah Inklusif.
Sebagaimana
telah banyak diketahui umat Islam, aqidah berasal dari bahasa Arab yang berarti
“kepercayaan”, maksudnya ialah hal-hal yang diyakini oleh orang-orang beragama.
Dalam Islam, aqidah selalu berhubungan dengan iman. Aqidah adalah ajaran
sentral dalam Islam dan menjadi inti risalah Islam melalui Muhammad. Tegaknya
aktivitas keislaman dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang dapat
menerangkan bahwa orang itu memiliki akidah. Masalahnya karena iman itu bersegi
teoritis dan ideal yang hanya dapat diketahui dengan bukti lahiriah dalam hidup
dan kehidupan sehari-hari, terkadang menimbulkan “problem” tersendiri ketika
harus berhadapan dengan “keimanan” dari orang yang beragama lain. Apalagi
persoalan iman ini, juga merupakan inti bagi semua agama, jadi bukan hanya
milik Islam saja. Maka, tak heran jika kemudian muncul persoalan truth claim dan salvation claim diantara agama-agama, yang sering berakhir dengan
konflik antar agama.
Untuk
mengatasi persoalan seperti itu, pendidikan agama Islam melalui ajaran
aqidahnya, perlu menekankan pentingnya “persaudaraan” umat beragama. Pelajaran
aqidah, bukan sekedar menuntut pada setiap peserta didik untuk menghapal
sejumlah materi yang berkaitan denganya, seperti iman kepada Allah swt, nabi
Muhamad saw, dll. Tetapi sekaligus, menekankan arti pentingya penghayatan
keimanan tadi dalam kehidupan sehari-hari. Intinya, aqidah harus berbuntut
dengan amal perbuatan yang baik atau akhlak
al-Karimah pada peserta didik. Memiliki akhlak yang baik pada Tuhan, alam
dan sesama umat manusia.
Pendidikan
Islam harus sadar, bahwa kerusuhan-kerusuhan bernuasan SARA seperti yang sering
terjadi di Indonesia ini adalah akibat ekspresi keberagamaan yang salah dalam
masyarakat kita, seperti ekspresi keberagamaan yang masih bersifat ekslusif dan
monolitik serta fanatisme untuk memonopoli kebenaran secara keliru. Celakanya,
ekspresi keagamaan seperti itu merupakan hasil dari “pendidikan agama”. Pendidikan
agama dipandang masih banyak memproduk manusia yang memandang golongan lain
(tidak seakidah) sebagai musuh. Maka di
sinilah perlunya menampilkan pendidikan agama yang fokusnya adalah bukan semata
kemampuan ritual dan keyakinan tauhid, melainkan juga akhlak sosial dan
kemanusiaan.
Pendidikan
agama, merupakan sarana yang sangat efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai
atau aqidah inklusif pada peserta didik. Perbedaan agama di antara peserta
didik bukanlah menjadi penghalang untuk bisa bergaul dan bersosialisasi diri.
Justru pendidikan agama dengan peserta didik berbeda agama, dapat dijadikan
sarana untuk menggali dan menemukan nilai-nilai keagamaan pada agamanya
masing-masing sekaligus dapat mengenal tradisi agama orang lain.
Target
kurikulum Agama Islam harus berorientasi
pada akhlak. Bahkan dalam pengajaran akidahnya, kalau perlu semua peserta didik
disuruh merasakan jadi orang yang beragama lain atau atheis sekalipun. Tujuanya
adalah bukan untuk “konfersi”, melainkan dalam rangka agar mereka mempertahankan
iman. Sebab, akidah itu harus dipahami sendiri, bukan dengan cara taklid,
taklid tidak dibenarkan dalam persoalan akidah. Selain itu, pada
masalah-masalah syari’ah. Dalam persoalan syariah, sering umat Islam juga
berbeda pendapat dan bertengkar. Maka dalam hal ini pendidikan Islam perlu .
memberikan pelajaran “fiqih muqarran”untuk memberikan penjelasan adanya
perbedaan pendapat dalam Islam dan semua pendapat itu sama-sama memiliki
argumen, dan wajib bagi kita untuk menghormati. Sekolah tidak menentukan salah
satu mazhab yang harus diikuti oleh peseta didik, pilihan mazhab terserah
kepada mereka masing-masing.
Melalui
suasana pendidikan seperti itu, tentu saja akan terbangun suasana saling
menenami dalam kehidupan beragama secara dewasa, tidak ada perbedaan yang
berarti diantara “perbedaan”manusia yang pada realitasnya memang berbeda. Tidak
dikenal superior ataupun inferior, serta memungkinkan terbentuknya suasana
dialog yang memungkinkan untuk membuka wawasan spritualitas baru tentang
keagamaan dan keimanan masing-masing.
Pendidikan
Islam harus memandang “iman”, yang dimiliki oleh setiap pemeluk agama, bersifat
dialogis artinya iman itu bisa didialogkan antara Tuhan dan manusia dan antara
sesama manusia. Iman merupakan pengalaman kemanusiaan ketika berintim
dengan-Nya (dengan begitu, bahwa yang menghayati dan menyakini iman itu adalah
manusia, dan bukanya Tuhan), dan pada tingkat tertentu iman itu bisa
didialogkan oleh manusia, antar sesama manusia dan dengan menggunakan bahasa
manusia.
Tujuan untuk menumbuhkan
saling menghormati kepada semua manusia yang memiliki iman berbeda atau mazhab
berbeda dalam beragama, salah satunya bisa diajarkan lewat pendidikan akidah
yang inklusif. Dalam pembelajaranya, tentu saja memberikan perbandingan dengan
akidah yang dimiliki oleh agama lain (perbandingan agama). Meminjam bahasanya
Alex Roger (1982: 61-62), pendidikan akidah seperti itu mensyaratkan adanya fairly and sensitively dan bersikap
terbuka (open minded). Tentu saja,
pengajaran agama seperti itu, sekaligus menuntut untuk bersikap “objektif”
sekaligus “subjektif”. Objektif,
maksudnya sadar bahwa membicarakan banyak iman secara fair itu tanpa harus
meminta pertanyaan mengenai benar atau validnya suatu agama. Subjektif berarti
sadar bahwa pengajaran seperti itu sifatnya hanyalah untuk mengantarkan setiap
peserta didik memahami dan merasakan sejauh mana keimana tentang suatu agama
itu dapat dirasakan oleh orang yang mempercayainya.
Melalui
pengajaran akidah inklusif seperti itu, tentu saja bukan untuk membuat suatu
kesamaan pandangan, apalagi keseragaman, karena hal itu adalah sesuatu yang
absurd dan agak mengkhianati tradisi suatu agama. yang dicari adalah
mendapatkan titik-titik pertemuan yang dimungkinkan secara teologis oleh
masing-masing agama. setiap agama mempunyai sisi ideal secara filosofis dan
teologis, dan inilah yang dibanggakan penganut suatu agama, serta yang akan
menjadikan mereka tetap bertahan, jika mereka mencari dasar rasional atas
keimanan mereka. Akan tetapi, agama juga mempunyai sisi real, yaitu suatu agama
menyejarah dengan keagungan atau kesalahan-kesalahan yang biasa dinilai dari
sudut pandang sebagai sesuatu yang memalukan. Oleh karena itu, suatu dialog
dalam perbandingan agama harus selalu mengandalkan kerendahan hati untuk
membandingkan konsep-konsep ideal yang dimiliki agama lain yang hendak
dibandingkan, dan realitas agama—baik yang agung atau yang memalukan—dengan
realitas agama lain yang agung atau memalukan itu dengan demikian, akan dapat
terhindar dari suatu penilai stndar ganda dalam melihat agama lain.
KESIMPULAN
Kalau tujuan
akhir pendidikan adalah perubahan perilaku dan sikap serta kualitas seseorang,
maka pengajaran harus berlangsung sedemikian rupa sehingga tidak sekedar
memberi informasi atau pengetahuan melainkan harus menyentuh hati, sehingga
akan mendorongnya dapat mengambil keputusan untuk berubah. Pendidikan agama
Islam, dengan demikian, di samping bertujuan untuk memperteguh keyakinan pada
agamanya, juga harus diorientasikan untuk menanamkan empati, simpati dan
solidaritas terhadap sesama. Maka, dalam hal ini, semua materi buku-buku yang
diajarkannya tentunya harus menyentuh tentang
isu pluralitas. Dari sinilah kemudian kita akan mengerti urgensinya
untuk menyusun bentuk kurikulum pendidikan
agama berbasis pluralisme agama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin,
M., (1999), Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Azra,
Azyumardi, 1998, Esai-esai Intelektual
Muslim dan Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisme Menuju Milenium Baru,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Basuki,
Singgih, A., (1999), “Kesatuan dan
Keragaman Agama Dalam Pandangan Hazrat Inayat Khan”, dalam Jurnal
Penelitian Agama, Nomor 21, TH. VIII Januari-April, h. 151.
Darmaningtyas,
(1999), Pendidikan Pada Dan Setelah
Krisis, Yogyakarta: 1999.
Effendy,
Bachtiar, 2001, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, Yogyakarta: Galang
Press.
Hasan, Hamid,
S., (2000), “Pendekatan Multikultural
Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional”, dalam Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta, Edisi Bulan Januari-November, h. 510-524.
Khisbiyah,
Yayah at al., (2000), “Mencari Pendidikan Yang Menghargai
Pluralisme” dalam Membangun Masa Depan Anak-anak Kita, Yogyakarta:
Kanisius.
Mulkhan,
Munir, Abdul, (2002), Nalar Spritual
Pendidikan, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Siradj, Aqiel,
Said, (1999), Islam Kebangsaan: Fiqih
Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Pustaka Ciganjur.
Sumartana at al.,
(2001), Pluralisme, Konflik, dan
Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tilar, H. A. R.,
2000, Paradigma Baru Pendidikan Nasional,
Jakarta: Rineka Cipta.A
0 komentar:
Posting Komentar